Kasus Amoral selalu Sudutkan
Perempuan, Mungkinkah karena Kurangnya Pendidikan Gender?
Oleh: Yulia Eka
Saputri (G000150131)
Beberapa
hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 5 Januari 2019 mencuat kabar penangkapan
artis VA yang digerebek di sebuah hotel di Surabaya bagian Selatan. Penangkapan
tersebut cukup mengagetkan bayak pihak. Pasalnya, tidak ada yang menduga bahwa
VA akan terjerat kasus prostitusi seperti beberapa selebritis yang sudah
tertangkap lalu-lalu. Sampai saat ini, kasus ini terus bergulir. Menyusul laki-laki
berinisial R yang dikabarkan sebagai “pemesan” VA dipanggil sebagai saksi untuk
memberi keterangan lebih lanjut.(dilansir dari detik.com pada 9/10/19)
Sejak
awal penangkapan artis VA, public sudah memberikan reaksi atas mencuatnya kasus
ini baik reaksi satu arah melalui opini masing-masing maupun reaksi yang
tertuju langsung pada VA melalui akun Instagramnya. Tidak perlu jauh-jauh,
sebagian besar dari kita sebagai penikmat berita tentu sering mendengar candaan
baru berbau “80 juta”. Bukan hal aneh lagi bagi masyarakat Indonesia yang
pandai menyematkan sebuah celetukan pada suatu kejadian. “80 juta bisa buat belie mi berkardus-kardus tuh buat anak kos”, “80
juta? Hahaha”, dan masih banyak contoh reaksi di kalangan masyarakat
melalui sosial media (niasa kita sebut dengan netizen). Meskipun secara lisan,
VA sudah menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh masyarakat Indonesia,
komentar-komentar pedas tidak berhenti mengalir dari netizen melalui akun
Instagram VA. (Dilansir dari akun instagram VA @vanessaangelofficial)
Jika
ditelaah lebih lanjut, dari komentar para netizen di atas. Tentu kita akan
bertanya-tanya mengapa hanya VA yang kemudian sebagai objek dari mencuatnya
kasus semacam ini. Lalu dimana si R yang disebut-sebut sebagai pemesan VA? Seolah-olah
VA adalah satu-satunya tersangka yang patut disalahkan. Padahal, kegiatan
prostitusi tudak akan terlakasana tanpa adanya pemesan. Lantas kenapa nama si
pemesan masih cukup aman sampai sekarang?
Jika
dilihat lebih seksama lagi, maka kita akan sampai pada perspektif bahwa
terdapat bias gender dalam kasus ini. Kurang lebih sama dengan kasus-kasus
amoral sebelum-sebelumnya, dimana perempuan selalu jadi objek yang disalahkan public.
Meskipun dalam kasus ini VA tidak dikatakan sebagai korban seperti kasus Agni
bulan-bulan lalu. Bias gender dalam kasus VA dilihat dari posisi perempuan (VA)
berada di titik yang dirugikan dibanding laki-laki (pemesan). Tentu ini bisa
dikatakan tidak adil. Dua-duanya sama-sama terlibat. Namun faktanya ketika
kasus ini menjadi sorotan. Seolah-olah hanya VA yang menjadi pelakunya. Mengapa
laki-laki yang dikabarkan sebagai pemesan VA tidak turut disorot ke media? Kendati
hanya sebagai saksi dalam pemeriksaan, namun tentunya hal ini akan menimbulkan kecenderungan
terhadap salah satu jenis kelamin saja. Pihak laki-laki yang diuntungkan.
Kita
tentu tau, bahwasanya sex dan gender adalah dua hal yang berbeda. Sex merupakan
kodrat biologis dari Tuhan yang tidak bisa kita ubah lagi. Sedangkan gender
adalah sebuah sifat maupun sikap pada laki ataupun perempuan yang dikonstruk
oleh lingkungan. Dalam perkembangannya, gender ternyata memiliki beberapa
masalah salah satunya adalah stereotip atau pelabelan pada salah satu kelompok
yang dianggap salah. (sumber: buku Analsis
Gender karya Mansour Fakih). Dalam masalah ini, VA menjadi pihak dari
kelompok yang dianggap salah oleh masyarakat. Terlepas dari benar atau tidaknya
stereotip masyarakat saat ini, namun yang perlu diingat adalah bahwa VA
bukanlah satu-satunya pihak yang salah dalam kasus ini. tentu ada pihak lain
yang seharusnya juga menerima sanksi moral dan sanksi sosial di masyarakat. Namun
sepertinya wacana menyudutkan perempuan masih menjadi perbincangan menarik sampai saat
ini. Tentu ini tidak terlepas dari pendidikan yang selama ini diterapkan oleh stake holders. Seharusnya ketika
pendidikan gender sudah selesai di bangku sekolah minimal, tidak akan ada atau
tidak banyak masyarakat yang kemudian dengan gampang menyalahkan salah satu
kelompok (perempuan/laki-laki) dalam setiap permasalahan yang dihadapi.
Dalam
pendidikan yang kita enyam sehari-hari, penanaman sadar gender bisa dikatakan
kurang. Terbukti dari buku bacaan yang ada di sekolah dasar selalu diidentikkan
perempuan hanya bertugas sebagai juru masak dalam keluarga. Tidak ada kelebihan
ataupun kekuatan khusus yang bisa dimiliki perempuan, meskipun bekerja di dalam
rumah saja. Lalu kemudian cerita seperti ini yang mengarahkan pada asumsi,
bahwasanya perempuan memang tidak usah bekerja, apalagi bekerja berat. Karena ia
tidak sekuat laki-laki. Ketika ada golongan yang merasa lebih kuat dibanding
golongan yang lain, maka kesempatan untuk memperlakukan secara berbeda pun
lebih besar. Disinilah pendidikan seharusnya berperan menegahi. Bahwasanya antara
laki-laki dan perempuan sama kedudukannya. Begitupun haknya ketika berada dalam
masyarakat.
Idealnya,
pendidik mulai dari kini menanamkan rasa egaliter pada peserta didik antara
laki-laki dan perempuan. Penyampaian materi hendaknya tidak menggunakan
permisalan-permisalan yang menampakkan superioritas laki-laki seperti contoh di
atas. Selain itu, metode pengajaran akan lebih baik ketika menggunakan diskusi
bersama dalam memecahkan masalah. Serta guru dapat menyelipkan konsep gender
dalam proses diskusi.
Sukoharjo, 9/01/19
YES