Rabu, 09 Januari 2019

GENDER DAN PENDIDIKAN


Kasus Amoral selalu Sudutkan Perempuan, Mungkinkah karena Kurangnya Pendidikan Gender?
Oleh: Yulia Eka Saputri (G000150131)


 
 
Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 5 Januari 2019 mencuat kabar penangkapan artis VA yang digerebek di sebuah hotel di Surabaya bagian Selatan. Penangkapan tersebut cukup mengagetkan bayak pihak. Pasalnya, tidak ada yang menduga bahwa VA akan terjerat kasus prostitusi seperti beberapa selebritis yang sudah tertangkap lalu-lalu. Sampai saat ini, kasus ini terus bergulir. Menyusul laki-laki berinisial R yang dikabarkan sebagai “pemesan” VA dipanggil sebagai saksi untuk memberi keterangan lebih lanjut.(dilansir dari detik.com pada 9/10/19)
Sejak awal penangkapan artis VA, public sudah memberikan reaksi atas mencuatnya kasus ini baik reaksi satu arah melalui opini masing-masing maupun reaksi yang tertuju langsung pada VA melalui akun Instagramnya. Tidak perlu jauh-jauh, sebagian besar dari kita sebagai penikmat berita tentu sering mendengar candaan baru berbau “80 juta”. Bukan hal aneh lagi bagi masyarakat Indonesia yang pandai menyematkan sebuah celetukan pada suatu kejadian. “80 juta bisa buat belie mi berkardus-kardus tuh buat anak kos”, “80 juta? Hahaha”, dan masih banyak contoh reaksi di kalangan masyarakat melalui sosial media (niasa kita sebut dengan netizen). Meskipun secara lisan, VA sudah menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh masyarakat Indonesia, komentar-komentar pedas tidak berhenti mengalir dari netizen melalui akun Instagram VA. (Dilansir dari akun instagram VA @vanessaangelofficial)
Jika ditelaah lebih lanjut, dari komentar para netizen di atas. Tentu kita akan bertanya-tanya mengapa hanya VA yang kemudian sebagai objek dari mencuatnya kasus semacam ini. Lalu dimana si R yang disebut-sebut sebagai pemesan VA? Seolah-olah VA adalah satu-satunya tersangka yang patut disalahkan. Padahal, kegiatan prostitusi tudak akan terlakasana tanpa adanya pemesan. Lantas kenapa nama si pemesan masih cukup aman sampai sekarang?
Jika dilihat lebih seksama lagi, maka kita akan sampai pada perspektif bahwa terdapat bias gender dalam kasus ini. Kurang lebih sama dengan kasus-kasus amoral sebelum-sebelumnya, dimana perempuan selalu jadi objek yang disalahkan public. Meskipun dalam kasus ini VA tidak dikatakan sebagai korban seperti kasus Agni bulan-bulan lalu. Bias gender dalam kasus VA dilihat dari posisi perempuan (VA) berada di titik yang dirugikan dibanding laki-laki (pemesan). Tentu ini bisa dikatakan tidak adil. Dua-duanya sama-sama terlibat. Namun faktanya ketika kasus ini menjadi sorotan. Seolah-olah hanya VA yang menjadi pelakunya. Mengapa laki-laki yang dikabarkan sebagai pemesan VA tidak turut disorot ke media? Kendati hanya sebagai saksi dalam pemeriksaan, namun tentunya hal ini akan menimbulkan kecenderungan terhadap salah satu jenis kelamin saja. Pihak laki-laki yang diuntungkan.
Kita tentu tau, bahwasanya sex dan gender adalah dua hal yang berbeda. Sex merupakan kodrat biologis dari Tuhan yang tidak bisa kita ubah lagi. Sedangkan gender adalah sebuah sifat maupun sikap pada laki ataupun perempuan yang dikonstruk oleh lingkungan. Dalam perkembangannya, gender ternyata memiliki beberapa masalah salah satunya adalah stereotip atau pelabelan pada salah satu kelompok yang dianggap salah. (sumber: buku Analsis Gender karya Mansour Fakih). Dalam masalah ini, VA menjadi pihak dari kelompok yang dianggap salah oleh masyarakat. Terlepas dari benar atau tidaknya stereotip masyarakat saat ini, namun yang perlu diingat adalah bahwa VA bukanlah satu-satunya pihak yang salah dalam kasus ini. tentu ada pihak lain yang seharusnya juga menerima sanksi moral dan sanksi sosial di masyarakat. Namun sepertinya wacana menyudutkan perempuan  masih menjadi perbincangan menarik sampai saat ini. Tentu ini tidak terlepas dari pendidikan yang selama ini diterapkan oleh stake holders. Seharusnya ketika pendidikan gender sudah selesai di bangku sekolah minimal, tidak akan ada atau tidak banyak masyarakat yang kemudian dengan gampang menyalahkan salah satu kelompok (perempuan/laki-laki) dalam setiap permasalahan yang dihadapi.
Dalam pendidikan yang kita enyam sehari-hari, penanaman sadar gender bisa dikatakan kurang. Terbukti dari buku bacaan yang ada di sekolah dasar selalu diidentikkan perempuan hanya bertugas sebagai juru masak dalam keluarga. Tidak ada kelebihan ataupun kekuatan khusus yang bisa dimiliki perempuan, meskipun bekerja di dalam rumah saja. Lalu kemudian cerita seperti ini yang mengarahkan pada asumsi, bahwasanya perempuan memang tidak usah bekerja, apalagi bekerja berat. Karena ia tidak sekuat laki-laki. Ketika ada golongan yang merasa lebih kuat dibanding golongan yang lain, maka kesempatan untuk memperlakukan secara berbeda pun lebih besar. Disinilah pendidikan seharusnya berperan menegahi. Bahwasanya antara laki-laki dan perempuan sama kedudukannya. Begitupun haknya ketika berada dalam masyarakat.
Idealnya, pendidik mulai dari kini menanamkan rasa egaliter pada peserta didik antara laki-laki dan perempuan. Penyampaian materi hendaknya tidak menggunakan permisalan-permisalan yang menampakkan superioritas laki-laki seperti contoh di atas. Selain itu, metode pengajaran akan lebih baik ketika menggunakan diskusi bersama dalam memecahkan masalah. Serta guru dapat menyelipkan konsep gender dalam proses diskusi. 

Sukoharjo, 9/01/19
YES

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GENDER DAN PENDIDIKAN

Kasus Amoral selalu Sudutkan Perempuan, Mungkinkah karena Kurangnya Pendidikan Gender? Oleh: Yulia Eka Saputri (G000150131) www.cokl...