Mencoba untuk Tidak Kehilangan Makna
Liburan kali ini seperti biasa,
aku melakukan aktivitas-aktivitas anak perempuan pada umumnya. Sebisa mungkin
aku tak menganggur selama aku berlibur di rumah. Iya, memang aku lebih sering
berada di rumah ketika liburan dibandingkan hang-out
di luar bersama teman-teman. Bukan tak suka atau tak mampu. Aku suka dan kalau
aku mau aku bisa melakukannya. Tapi aku lebih suka menikmati kehangatan rumah,
kelembutan udara halaman depan yang menghadap sawah, dan sebisa mungkin
berbicara santai lebih banyak dengan orang tua. Aku merasa, semenjak aku
menetap di solo sebagai anak kos dan anak kuliahan, waktuku untuk mereka
sangat-sangat sedikit. Maka setiap aku di rumah, aku manfaatkan betul
kesempatan itu. Terlebih dengan jadwal pulangku yang tak menentu.
Pagi itu, aku mendekati bapak
untuk meminta jatah tethering. Aku
jarang membeli paket data selama di rumah. Maka aku setiap waktu meminta itu
sebagai akses untuk beberapa informasi di internet maupun sosial media, -jatah
paket internet bapak selalu unlimited
jadi mubadzir sekali kalau tak ku manfaatkan betul pikirku. Bapak tak pernah
keberatan akan hal itu. Bapak mana yang tidak mengiyakan permintaan sesepele
itu, apalagi putrinya sendiri yang meminta-haha tertawa kemenangan. “sudah nyambung?”, Tanya bapak. Kuiyakan
pertanyaan bapak. Tiba-tiba bapak bertanya, “nduk, ikut bapak kirim yuk”. Aku
reflek mengatakan “ha?”. Bapakku bekerja sebagai seles kripik. Aneka kripik.
Kata orang-orang sih rasanya enak. Hehe bagiku ya begitu-begitu saja. Mungkin
karena setiap hari kucium baunya haha. “bapak mau ke pondok ya? Nanti aku
disuruh nata kripiknya to?” tanyaku. Kata bapak “ enggak, bapak mau ke pasarnya
aja. Nanti kamu nunggu bapak saja”. “oalah”. Singkat cerita aku langsung
mengiyakan.
Sebenarnya aku lebih suka kalau bapak
mengajakku mengantar pesanan ke pondok, pondok pesantren yang dulu sempat
kutempati barang beberapa lama hari saja. Aku merasa senang melihat
perempuan-perempuan disana memakai seragam sekolah berwarna hitam komplit
dengan jilbab lebar dan cadar. Untuk masuk kesana, aku sebagai perempuan yang
tergolong usia dewasa wajib pula mengenakan pakaian yang kurang lebih seperti
itu, jika tak mau jadi pusat perhatian-kerena paling beda dengan yang lain.
Jika aku sedang disana, maka aku akan teringat betapa cengengnya aku dulu waktu
pertama kali masuk pondok. Tiada hari tanpa nangis. Bahkan, setiap suara motor
datang, aku akan mengira itu motor bapak yang sedang ingin menengok anak
perempuannya. Kamarku dan halaman depan pondok hanya terhalang satu tembok
putih saja. Jadi segala suara di luar masih mungkin kudengan dengan jelas dari
dalam kamar. Aku masih ingat betul, musyrifah
kamarku sampai marah kepadaku karena aku yang sangat cengeng ini.
teman-teman ku tak separah aku, menangis tiap ada motor datang. Padahal mereka
rumahnya dari luar pulau. Sedang aku, hanya berasal dari kabupaten sebelah. Ah
kuanggap itu salah satu prosesku mendewasa. Klise sih, tapi ya bagaimana lagi.
Bukan mauku untuk setiap hari menangis begitu.
Sayangnya kali ini bapak
mengajakku mengantar pesanan ke pasarnya saja. Pasar terdekat dengan pesantren
itu. Mungkin hanya beberapa kilometer saja jaraknya dari pondok yang kutempati
dulu. Di area pasar, sebenarnya masih banyak perempuan-perempuan berpakaian
hitam dengan cadar seperti biasanya. Namun disini tak kutemui suasana yang dulu
sempat kunikmati. Aku hanya menghela nafas sembari melihat sana-sini. Anak-anak
kecil yang dipakaikan cadar, bapak-bapak berkopuah bulat layaknya aladin, pun
begitu para remaja pria. Setiap kali anak-anak perempuan yang kira-kira
seumuran ku dari nada bicara dan berjalannya, aku amati style gamis hitamnya. Membuatku teringat pada gamis ku dulu. Yang
modelnya paling bagus, namun sayang harus raib termakan tikus. Hmm kuamati lagi
para pedagang pakaian, gamis, jilbab, makanan, bahkan motor-motor yang
terparkir di pinggir jalan. Kunikmati setiap pemandangan di depan mata sambil
mengingat-ingat, aku dulu juga seperti itu. Ada sedikit rindu yang terobati
dengan kehadiran buku yang sengaja kubawa untuk berjaga-jaga, kalau-kalau
disana nanti ternyata aku malah merasa sepi. Benar saja, aku merasa sepi.
Setelah bapak menyuruhku membeli es pocong tanpa es batu-bapak adalah manusia
anti es batu begitu juga pada anak-anaknya ia terapkan itu. Katanya es itu
merusak badan, kuiyakan saja dengan terpaksa, meskipun itu benar. Aku masuk ke
dalam mobil, kunikmati es pocong tanpa es batu itu dengan sediit kesal karena
seharusnya es ini lebih nikmat jika diberi pecahan es batu, barang sedikit
saja. Tapi tetap ku makan juga yang ada. Aku sendiri belum makan sedari bangun
tidur.
Usai kuhabiskan makanan itu,
kuamati kembali ibu-ibu yang sedang berjuang mengeluarkan sepeda motornya dari
jepitan mobil dan cor-cor an trotoar pinggir jalan. Kutanyai ibu itu, “bu, bisa
keluar bu?” ibu hanya menjawab “saget”
sambil sibuk mengeluarkan motornya. Hm kulanjutkan lagi pandanganku. Ku coba
membuka lembaran buku di hadapan ku. Salah satu tulisan Pram yang tadi sengaja
kubawa, kulanjutkan lagi ceritanya. Beberapa lembar saja, lalu bapak datang
dari arah hadap mobil kami. “ayoh..”katanya.
Mobil kami menuju jalan pulang.
Melewati kios-kios dan pedagang pinggir jalan yang dipenuhi peempuan-perempuan
bercadar dan laki-laki kopyahan. Meski tak terhitung lagi berapa kali kuamati
mereka, tetap saja mataku tak ingin lepas dari mereka. Aku lebih suka
berlama-lama mengamati, ku tanamkan dalam ingatan dalam. Daripada sibuk mefoto
atau memvideo sesuatu. Meskipun katanya, itu adalah sebuah usaha mengabadikan
momen. Tapi bagiku, keindahan di depan mataku tiada tertandingi ketika aku
focus mengamati. Dengan begitu aku bisa menamai, dan memaknai lebih dalam dan
luas.
Sampai di tengah jalan, bapak
menyodorkan dua buah nota berisi angka-angka kepadaku. Kubaca nota-nota itu.
Dengan perintahnya, bapak berkata “pelajari nota-nota itu, nota putih berisi
harga jual yang biru isinya harga tengkulak, amati, bila perlu hitung pakai
kalkulator di hp mu ini.” bapak
menyodorkan hp ku yang sebenarnya letaknya adalah di hadapanku, di tepi
kaca mobil depan. Aku hanya mengangguk saja.
“sudah dihitung?” kata bapak. Bapak
menanyakan, berapa jumlah keuntungan hari ini kalau begitu. Dengan menjelaskan
tulisan harga pada nota adalah pada tiap bal sekian dan sekian. Kusebutkan laba
hari ini. ternyata perhitungan ku agak meleset. Mungkin karena aku kurang focus
menghitung dengan kondisi mobil yang berjalan kurang mulus di atas aspal.
Kepalaku juga sedikit pusing. Tapi, tetap kudengarkan penjelasan detail dari bapak
soal keuntungan pesanan kripik hari ini. “orang-orang berpendidikan tinggi
mungkin sulit melakukan ini, orang-orang seperti ini, belajarnya gak pake
teori. Belajarnya pakai praktik langsung di lapangan. Bapak Cuma butuh waktu
lima sampai dengan sepuluh menit ngobrol sama orang yang mau jadi agen
pemasaran buat megang satu etelase. Insyaallah dengan waktu segitu bapak sudah
bisa membaca apakah orang ini bisa untuk diajak kerjasama, apakah orang ini
jujur dalam berbisnis dsb.” Celetuk bapak yang panjang tiba-tiba. Aku hanya
menganggik-angguk saja. Aku percaya pada bapak karena banyak langganan bapak
yang memang sesuai dengan penilaian bapak. Tiba-tiba saja aku teringat pada
kisah Nyai Ontosoroh dalam buku Pram, bahwa seorang otodidak lebih sukses
–secara pola pikir, maupun finansial-- daripada sarjana tingkat dewa sekalipun.
Orang-orang otodidak belajar lewat alam, lewat pengalaman. Mereka mengalami
salah, dan benar tanpa sungkan. Tanpa dibatasi nilai-nilai yang tercoret pada
kertas. Itu lebih mahal dan lebih melekat dibanding mereka yang belajar teori
setinggi langit saja. Lalu aku bertanya-tanya, lalu apa pula guna belajar teori
sebanyak itu di sekolah? Untuk apa sekolah? Pertanyaan itu berputar-putar di
atas kepalaku. Aku mencoba kembali focus dengan kata-kata bapak yang masih
berlanjut.
“nduk, kenapa bapak ajak kamu menghitung ini,
kenapa bapak ajak kamu kesini. Bapak cuma kepengen kamu belajar sedikit-sedikit
soal-soal begini. Bagaimana menghadapi pasar, bagaimana menghadapi pelanggan,
bagaimana membaca situasi kondisi dunia kerja swasta-yang sangat berbeda dengan
dunia pegawai. Di dunia swasta begini, orang lebih mudah berkembang pola
pikirnya nduk dibanding dunia poegawai. Tidak hanya dari segi pola pikir
finansial juga. Kita (orang swasta) harus sigap menghadapi permasalahan. Setiap
permasalahan, sebenarnya gak perlu dipikir spaneng.
Cukup sabar sama sholat jamaah saja. Sebuntu apapun masalah, bapak jamin, akan
selalu ada solusinya. Kalau hari ini
kita belum bisa memecahkan solusi itu, kita diamkan, sabar, nggak perlu sambat
aneh-aneh. Kita coba cari lagi besoknya, kalau besoknya belum nemu juga,
besoknya lagi. Dan itu pasti ketemu. Ibarat kata, bapak udah kapalen sama yang namanya masalah
terutama masalah dunia dagang gini. Bukannya apa-apa nduk. Kalau kerja di dunia
pegawai, kamu tidak akan leluasa berkembang. Ibarat kata, bayi yang setiap pagi
di suapi makanan, sore dimandikan, malam di nina bobokan. Begitu saja sampai
tua, sampai mati. Rutinitas pegawai tak sekompleks wirasawasta nduk, asal kamu
paham.” Aku focus mendengarkan sambil meresapi setiap klaimat bapak
dalam-dalam.
“Dulu bapak belum semudah ini nduk, ngantar
pesanan kesana kemari. Bapak jualan ini dari 0. Dari mulai kita sekeluarga Cuma
punya uang buat makan. Ngeri nggak tuh? Padahal kebutuhan rumah tangga dadakan
bisa sewaktu-waktu datang. Belum lagi omongan kanan-kiri, bahkan saudara
sendiri nduk. Bapak waktu itu nggak ngeluh. Bapak Cuma bilang sama Allah, Yaa
Allah kalau memang mau menguji dengan masalah ini silahkan uji saya sampai
titik puncak saja yaa Rabb. Biar kutahan sekuat tenagaku. Biar remuk sekalian,
biar hancur sekalian.” Kata bapak lagi dengan nada datar. Aku hanya melongo
mendengar kalimat-kalimat bapak. Tidak berhenti disitu, bapak melanjutkan lagi.
“Alhamdulillah, semua itu terlewati dan ada gantinya. Kuncinya sabar, sabar,
sabar saja. Nikmati masalah yang ada, dengan begitu kita jadi dewasa.” Bapak
memandangku sambil tersenyum.
Kami melewati sebuah kios hp. Dan
akhirnya bapak memintaku untuk turun sebentar membeli kabeldata untuk hp nya
yang agak rusak sambil menyodorkan uang lima puluh ribu rupiah.
Ngawi, 5 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar